Ikhtiar Pemprov Jatim dalam Mengupayakan Pengembalian Prasasti Sangguran
Setelah pemerintah pusat melalui tim repatriasi berhasil mengembalikan 472 benda budaya dari Belanda muncul niatan kembali untuk mengupayakan hal serupa terhadap beberapa benda budaya dari Indonesia, khususnya Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa bersama tim delegasi berkunjung ke Belanda yang diantara misinya bertujuan membuka peluang pembicaraan tentang pengembalian Prasasti Sangguran.
Pada kesempatan tersebut, Gubernur Khofifah mengatakan bahwa semula prasasti ini ditemukan di Ngandat, Malang. Daerah Ngandat sekarang menjadi Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur. Gubernur Khofifah meminta Pj Wali Kota Batu untuk mengecek langsung sekaligus mengupayakan terkait langkah repatriasi.
Untuk diketahui, sebelumnya ada beberapa benda budaya Indonesia yang masih diupayakan untuk bisa dikembalikan ke daerah asalnya. Benda sejenis batu bertulis ini adalah Prasasti Pucangan atau disebut juga dengan nama Calcutta Stone. Sekarang benda ini tersimpan di Museum Calcutta dan ditempatkan di ruang penyimpanan bagian bawah bangunan. Tim negosiasi Indonesia di bawah komando Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid berhasil melihat dan memastikan keberadaan prasasti ini namun prosesnya sementara bisa dibilang belum ada progres lagi. Satu lagi warisan budaya Indonesia yang masih diharapkan bisa kembali ke tanah air adalah Manusia Jawa atau Java Man. Namun kabar tinggalan budaya yang satu ini nampaknya akan lebih lama lagi untuk bisa diharapkan kembali ke Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan repatriasi Prasasti Sangguran oleh Gubernur Jatim haruslah diapresiasi. Lebih-lebih dari pihak keluarga yang mewarisi benda ini konon berkeinginan untuk melepas batu bertulis yang cukup penting sebagai pelengkap puzzle rekonstruksi sejarah klasik Jawa Timur. Prasasti yang disebut juga dengan nama Minto Stone ini dahulu adalah hadiah yang diberikan oleh Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto pada 1812. Adapun Raffles mendapatkan batu ini dari seorang prajurit Kolonel Colin Mackenzie yang didapatkannya dari wilayah Surabaya. Pada 1813, Prasasti Sangguran diangkut dari Surabaya menggunakan kapal EIC milik Inggris menuju Kolkata, India sebelum kemudian sampai di Skotlandia.
Prasasti Sangguran berangka tahun 928 Masehi, atau setahun sebelum pusat kerajaan dipindahkan oleh Mpu Sindok ke Jawa Timur. Prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga pendahulu Pu Sindok. Prasasti ini dipercaya diliputi kutukan yang konon mengakibatkan baik Raffles maupun Lord Minto diturunkan jabatannya hingga meninggal. Seperti diketahui di dalam hampir semua prasasti termuat bait sapatha atau kutukan bagi setiap orang yang merusak atau memindahkannya.
Selanjutnya menarik untuk membicarakan benda hasil repatriasi ini akan dibawa kemana. Pembicaraan tentang hal ini sebenarnya tidak hanya sebatas mendiskusikan tentang akan diletakkan dimana benda ini. Namun berkaitan dengan kebijakan dan juga alokasi biaya. Seperti diketahui dalam serangkaian lobi tim repatriasi 472 benda budaya yang telah tiba di Indonesia pada 22 Agustus 2023, menyepakati pengembalian benda budaya ini sepaket dengan perjanjian kerjasama penguatan sumber daya museum dan program master di bidang studi sejarah dan budaya. Harus difikirkan bagaimana ekosistem pendukung studi benda budaya ini dikembangkan pada masa kemudian.
Berkaitan dengan prasasti Sangguran ini agak berbeda dengan proses repatriasi benda budaya yang diupayakan oleh pemerintah pusat. Pemilik prasasti ini adalah entitas atau pihak perorangan dan bukan lembaga pemerintah. Konon proses pengembalian yang telah diupayakan sejak tahun 2004 ini terkendala dengan ganti rugi yang diminta oleh ahli waris dari Lord Minto ini. Jadi alokasi biaya imbal jasa dan proses mobilisasi serta biaya asuransi harus difikirkan karena pasti tidak akan murah. Begitupun jika harus membicarakan tentang tempat penyimpanan. Jikalau dikembalikan ke daerah, hendak disimpan di manakah koleksi ini. Museum provinsi Jawa Timur tentu akan menyatakan siap untuk menerima koleksi ini. Namun bagaimanakah pemerintah kota Batu berikut Masyarakat di sana yang mengikuti wacana ini. Pasti ada aspirasi yang menginginkan benda budaya ini agar dimiliki kembali oleh Masyarakat Batu.
Euforia repatriasi benda budaya yang sedang menjadi perhatian publik sekarang bagaimanapun menyisakan sebuah renungan untuk didiskusikan. Terutama bagi museum, seperti museum nasional (Musnas) dan juga museum lain yang sudah mapan (establish). Dinamika pemerintah kabupaten dan kota yang berlomba-lomba mendirikan museum lokal seiring dengan semangat otonomi daerah telah memunculkan kesadaran sejarah dan identitas kedaerahan (local pride). Fenomena ini tidak bisa dikatakan buruk, namun berkaitan dengan permuseuman terdapat gejala yang harus diantisipasi. Ada sebuah trend masyarakat daerah kerapkali meminta untuk tidak mengatakan menuntut, benda koleksi dikembalikan ke daerah asalnya.
Hal ini menjadi sebuah dilema ketika melibatkan lobi-lobi politik dengan mengatasnamakan aspirasi masyarakat daerah. Terlebih museum pemerintah yang dijabat oleh pegawai struktural adalah bawahan dari kepala daerah yang mana terkadang tidak memiliki kekuatan untuk menolak permintaan ini. Padahal koleksi museum ini adalah artefak yang bisa dikatakan sebagai aset utama (core asset) yang dilindungi oleh undang-undang dan karenanya tidak bisa dihapus dari pencatatan untuk selamanya. Jadi semangat repatriasi benda budaya ini selanjutnya diharapkan akan membawa semangat positif bagi penguatan identitas kebangsaan dan bukan sebaliknya akan menguatkan sentimen kedaerahan serta primordialisme. (MDS)