Memahami Peristiwa di Balik Repatriasi Benda Budaya

Perspektif Pengelola Museum

Proses pengembalian artefak bersejarah dari Belanda ke Indonesia sedang berlangsung menghiasi pemberitaan media beberapa akhir-akhir ini. Benda bersejarah ini dahulu dikumpulkan dari wilayah Nusantara melalui proses perampasan, penjarahan, dan bahkan perampokan. Proses serah terima koleksi artefak budaya ini berlangsung pada 10 Juli di Museum Volkenkunde. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Indonesia, menerima penyerahan koleksi benda-benda bersejarah dari pihak Belanda.

Museum Volkenkunde tempat dilangsungkannya pengembalian benda-benda bersejarah itu terletak di Kota Leiden. Sebanyak 472 Benda bersejarah itu terdiri atas 355 harta karun Lombok, 4 patung Singasari, 1 keris Klungkung, dan 132 koleksi berwujud karya seni Pita Maha. Empat arca yang akan kembali ke Indonesia berwujud Durga, Mahakala, Nandishwara, dan Ganesha yang berasal dari Jawa Timur.

Pemerintah Indonesia telah lama mengajukan permintaan agar beberapa artefak Indonesia dikembalikan ke negeri asalnya. Trend pengembalian benda-benda bersejarah ke negara asalnya, berlangsung pertama kali di Perancis.  Presiden Prancis, Emmanuel Macron pada tahun 2018 berjanji akan mengembalikan barang era penjajahan ke negara asalnya di Afrika dalam jangka waktu lima tahun.

Adapun sejarah proses pengembalian barang-barang bersejarah Indonesia di luar negeri diupayakan pertama kali oleh Mohammad Yamin pada tahun 1954. Usaha ini menunjukkan hasil ketika Ratu Juliana tahun 1970 secara simbolis mengembalikan naskah Negarakertagama kepada mantan presiden Soeharto. Naskah itu baru benar-benar dikembalikan ke Indonesia tahun 1972. Tahun 1977, pemerintah Belanda mengembalikan sejumlah benda budaya, antara lain Prajnaparamita, payung, pelana kuda, dan tombak Pangeran Diponegoro serta 243 benda pusaka Lombok hasil invasi militer di Puri Cakranegara tahun 1894. Kemudian tahun 2015 Belanda mengembalikan tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro. Selanjutnya pada 2019 dan 2020, Belanda mengembalikan koleksi museum Nusantara Delf dan Keris Pangeran Diponegoro.

Pengelolaan cagar budaya dan koleksi museum yang terjadi di Eropa menarik untuk diikuti. Dahulu museum di negeri Belanda didirikan sebagai sarana para calon ambtenar atau pegawai negeri Belanda untuk belajar tentang budaya negeri jajahan. Pemerintah kolonial merasa perlu untuk membekali para calon pangreh praja ini tentang adat istiadat penduduk jajahan. Museum adalah laboratorium tempat mereka belajar tentang kehidupan penduduk pribumi nun jauh di sana. Namun perkembangan yang terjadi kemudian berubah demikian cepat. Di Eropa, museum mulai kurang popular era pasca kolonialisme dan imperalisme. Orang Eropa memilih melaksanakan perjalanan langsung ke Asia atau Afrika untuk belajar budaya atau sekedar berwisata.

Ketika minat orang-orang berkunjung ke museum mulai berkurang, pemandangan museum di beberapa sudut kota menjadi sepi. Situasi ini diperparah dengan krisis ekonomi yang melanda Eropa. Beberapa lembaga mulai mengalami kesulitan keuangan termasuk yang terjadi pada Museum Nusantara di Delt tahun 2019. Akibat masalah keuangan, museum di Belanda ini memulangkan 1.500 benda budaya ke Indonesia dan harus terpaksa menutup lembaga ini untuk selamanya.

Beberapa pertanyaan dan renungan layak dikemukakan kemudian. Pertama tentang situasi museum yang makin ditinggalkan masyarakat. Telah terjadi pergeseran fungsi museum yang semula sebagai sarana pendidikan calon ambtenar menjadi destinasi budaya yang dianggap tidak lagi vital bagi pemerintah. Museum berangsur menjadi kurang popular hingga kemudian dipersepsikan sebagai tempat yang diliputi keramat dan mistik. Kedua berterkaitan dengan gejala pengembalian koleksi dari Eropa ke negeri asal koleksi. Disamping alasan kesulitan pendanaan untuk menutup biaya operasional museum, alasan pertimbangan strategis negara Eropa tidak dapat dikesampingkan. Terlebih sekarang telah ada metode pendokumentasian koleksi dengan detail perekaman yang cukup tinggi. Jika telah ada metadata tinggalan budaya maka pertanyaannya mengapa harus menyimpan benda asli sementara pada saat yang sama harus mengeluarkan biaya pemeliharaan yang tidak murah.

Dari peristiwa repatriasi budaya ini, setidaknya kita belajar beberapa hal. Benda budaya yang akhirnya kembali ke Indonesia harus terus dijaga dan dikaji nilai sejarah dan makna pentingnya. Kita harus sadar bahwa menerima benda budaya itu berarti juga menerima kewajiban untuk merawat sekaligus menyediakan anggaran pemeliharaan yang tidak sedikit. Jangan sampai benda-benda ini malah rusak dan ditelantarkan tanpa ada upaya untuk mencari nilai penting dan strategis bagi penguatan jati diri bangsa. Sebagai bangsa kita harus mengupayakan segala cara dalam upaya pengembalian benda budaya di luar negeri. Namun ketika benda-benda itu telah kembali, harus difikirkan akan disimpan dan diserahkan ke mana benda itu pada akhirnya. Banyak daerah seperti diketahui telah memiliki museum sebagai bagian dari semangat otonomi daerah. Jika dinilai layak maka museum-museum daerah ini ke depan dapat dipertimbangkan sebagai lokasi penyimpanan setelah melalui proses kajian. Lebih-lebih daerah atau masyarakat setempat dianggap sebagai pewaris asli dari artefak budaya yang adiluhung tersebut. (MDS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *