Artefak Penolak Hujan dalam Gelaran Moto GP Mandalika (Pelajaran dalam Pemanfaatan Koleksi Museum)

Gelaran Moto GP 2022 yang diselenggarakan di sirkuit Mandalika diliputi dengan pemandangan yang membuat publik tergelitik bercampur penasaran. Tiba-tiba muncul perempuan ke dalam arena sirkuit dengan memukul-mukul cawan logam sembari menari-nari. Dia adalah Raden Rara Istiati Wulandari, yang terakhir diketahui berdasarkan penuturannya sendiri adalah seorang pawang hujan.

Tradisi pawang hujan identik dengan kepercayaan masyarakat tradisional. Tidak hanya di Indonesia di beberapa belahan dunia yang lain, profesi pawang hujan ternyata masih dapat dijumpai keberadaannya. Namun dalam tulisan ini secara khusus akan membahas tentang wadah logam yang digunakan Rara dalam menjalankan ritualnya.

https://www.suara.com/lifestyle/2022/03/30/131740/inilah-5-fungsi-singing-bowls-terapi-suara-yang-populer-di-tibet

Dalam dunia permuseuman artefak budaya seperti yang digunakan Rara dalam prosesi menolak hujan itu dinamakan dengan Pasu. Pasu sendiri adalah wadah mirip mangkuk yang terbuat dari keramik, kayu, atau logam. Pasu memiliki mulut besar dengan bagian dasar rata atau cembung dan tidak berkaki. Di Museum Mpu Tantular sendiri terdapat koleksi Pasu Sudamala yang bentuknya mirip dengan cawan logam yang digunakan oleh Rara. Menurut sejarahnya benda ini dahulu digunakan oleh Biksu pegunungan Nepal, Himalaya, Tibet. Konon pada awalnya benda yang sekarang disebut singing ball ini digunakan untuk wadah makanan atau wadah susu bagi para ibu di pedesaan. Seiring berjalannya waktu alat ini dimanfaatkan bagi para biksu Budha untuk berdoa, berkumpul, dan bermeditasi. Pemanfaatan koleksi pasu ini diorientasikan pada metode pemusatan konsentrasi dan juga proses penyembuhan atau healing. Metode sound healing dengan genta Tibet diyakini bisa menyembuhkan berbagai kondisi sakit fisik maupun jiwa seseorang, seperti halnya menghilangkan rasa stres. Namun dalam praktek ritual yang dijalankan Rara, pasu atau singing bell ini dijadikan perangkat kerja dalam metode menolak atau bahkan menurunkan hujan.

Dalam tradisi masyarakat pedesaan Jawa, praktek mengendalikan hujan dilakukan dengan perangkat sapu lidi bekas atau Sapu Gerang. Penduduk yang sedang menjemur hasil panenan misalnya akan berharap matahari akan tetap terik. Mereka berdoa agar hujan tidak turun terlebih dahulu dengan memasang sapu lidi secara terbalik. Sapu dipasang menantang arah matahari dilengkapi dengan cabe dan bawang yang tertancap di bagian ujungnya. Kesemua ubo rampe ini disiapkan sebagai pelengkap doa yang ditujukan kepada Tuhan  Yang Maha Kuasa. Kurang dapat diketahui secara pasti bagaimana metode yang dilakukan oleh Bu Rara ini, namun secara kasat mata tampak pasu ini dibawa dengan beberapa kali dipukul sebelum yang bersangkutan ini melantunkan rapal mantra atau doa tertentu sembari menatap ke langit. Mantra-mantra dalam prosesi mengendalikan hujan biasanya berisi formula tertentu sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan yang bersangkutan. Adapun Pasu yang dibawa dan dibunyikan itu kemungkinan digunakan sebagai media untuk mensinkronkan frekwensi antara alam mikrokosmos dengan alam makrokosmos ketika berlangsung ritual pengendalian hujan.

Lepas dari pembicaraan tentang pawang hujan di era modern ini, ada beberapa hal yang menarik untuk dijadikan pembelajaran. Pada ujung polemik tentang pawang hujan ini pada akhirnya semua tahu jika adegan pawang hujan ini adalah bagian dari desain gimmick marketing. Metode marketing  ini secara sederhana dapat dijelaskan dari adanya kontradiksi antara praktek kuno dengan even modern, yang mana hal ini sangatlah susah untuk dimasukkan dalam satu logika berfikir yang sinkron. Dipilihnya pawang hujan perempuan juga menjadi poin penting dalam metode marketing karena secara alamiah orang akan lebih tertarik untuk mencari tau tentang hal-hal yang berasosiasi tokoh perempuan. Sementara lazim diketahui pawang hujan mayoritas adalah kaum laki-laki. Orang akan lebih mudah tertarik dengan sosok perempuan, kemudian mencari tahu tentang pawang hujan, dilanjutkan dengan tradisi bangsa-bangsa di wilayah timur. Tidak berhenti di sana mereka bisa jadi akan lanjut mencari tahu tentang Indonesia, keindahan alamnya, kekayaan budayanya dan seterusnya. Jadi bisa dibayangkan melalui perhelatan Moto GP upaya promosi bisa terselenggara dan ini berarti mendongkrak popularitas sebuah negara. Untuk sampai di sana diakui atau tidak, adegan pawang hujan Rara turut berkontribusi menempatkan gelaran Moto GP di Indonesia sebagai topik pembicaraan teratas twitter kala itu.

https://m.jpnn.com/news/aksinya-di-motogp-mandalika-dicibir-dan-dipuji-mbak-rara-pawang-hujan-bilang-begini

Kembali kepada pembicaraan tentang singing bell dan koleksi museum. Upaya memanfaatkan koleksi museum perlu untuk difikirkan ke arah metode dan cara baru yang mungkin belum lazim dilakukan sebelum ini. Jika praktek pawang hujan bisa digunakan sebagai metode marketing yang canggih maka pemanfaatan koleksi mungkin perlu dicarikan referensi ke arah sana. Dalam sebuah penyajian koleksi diperlukan sebuah narasi. Artefak tanpa narasi yang kuat dalam mengemasnya akan terlalu susah untuk menarik minat masyarakat. Begitupun museum tanpa upaya promosi dan branding yang kuat juga akan menjadikan museum menjadi destinasi yang biasa, layaknya destinasi wisata budaya yang lain. Banyak cerita-cerita dinarasikan untuk mengemas fenomena atau benda-benda tertentu sehingga menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat. Cerita tentang lukisan monalisa dengan segala kisah dan misteri yang menyertainya misalnya akan selalu menarik minat masyarakat. Mereka tidak sekedar ingin tahu tentang lukisan monalisa, lebih dari itu mereka ingin berada di sekitar lukisan merasakan udara dan aroma cat gedung tempat menyimpan lukisan yang fenomenal itu. Begitupun cerita tentang Danau Lock Ness di Scotlandia yang konon katanya tempat bersemayam makhluk raksasa dari zaman purba. Meski terdapat penjelasan ilmiah bahwa foto makhluk purba dari danau Lock Ness itu adalah fenomena distorsi cahaya dari bayangan pepohonan, tapi orang-orang dari seluruh penjuru dunia masih menaruh penasaran dan mewajibkan diri untuk dapat hadir dan menyaksikan sendiri kemungkinan makhluk purba ini akan muncul. Manusia jaman sekarang begitu terobsesi dengan hal-hal langka dan spekulatif. Sebagai pengelola museum kita harus bisa membuat story sehingga membuat orang yang tidak tertarik pada sebuah koleksi menjadi merasa perlu hingga wajib berkunjung ke museum. Terakhir kali cerita Mac Donald yang gerainya diserbu oleh pembeli karena menjual produk Mac Donald edisi BTS Meal. Sekali lagi produk McD nya sama namun label Boy Band asal Korea BTS menjadi story yang membuatnya menjadi produk bernilai lebih. Membeli produk ini serasa menjadi bagian dari keluarga fan BTS dunia yang identik dengan kesuksesan, kekayaan talenta, keglamoran, dan bagian dari fans Boy Band besar dunia.

Pada akhirnya harus dikatakan saat ini kita semua menyadari bahwa kita telah sampai kita di era Dream Society. Ketika narasi atau sebuah story lebih penting daripada produk itu sendiri. Meski dalam dunia permuseuman konsep ini tidak boleh diaplikasikan secara bulat-bulat namun dari sini pengelola museum dapat mengambil inspirasi. Pasca era teknologi informasi kita dihadapkan pada masa dream society, orang yang bisa membangun imajinasi dan bahkan menyambungkan ide dan gagasan dari beberapa orang konon di masa depan akan banyak mendapatkan peran yang signifikan di masyarakat. (MDS)

KEPUSTAKAAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *