Menengok Implementasi Protokol Kesehatan dari Jendela Museum
“Seperti biasa, kami selalu pakai masker dulu saat masuk ke suatu tempat. Setelah itu fleksibel melihat situasi di dalamnya. Ketika masuk toko itu, yang menjaga mendatangi kami. Perempuan. Dia tidak bermasker. Saat menyapa, dia bilang begini: “Mohon maaf, kalau Anda semua merasa lebih nyaman bila saya bermasker, maka saya akan mengenakan masker.” (Mei 2021 di sebuah toko sepeda di Lawrence, Kansas).
Wabah Covid 19 yang awalnya dianggap sebagai pandemi kini diharapkan akan segera menjadi endemi. Pandemi adalah wabah yang mengena pada tempat dan waktu tertentu, sedangkan Endemi adalah ketika wabah telah mereda dan menjadi penyakit dengan gejala ringan. Intensitas pemberian vaksin yang dilakukan oleh pemerintah berbarengan dengan penerapan 3T (tracing, testing, dan treatment) menjadi strategi pemerintah menanggulangi wabah covid 19. Upaya ini sekarang dianggap telah menampakkan hasil meski pada tahap berikutnya muncul varian omicron yang menyebabkan dunia dihadapkan pada gelombang covid yang ke tiga.
Covid 19 tak terasa telah berlangsung 2 tahun di Indonesia sejak pertama kali ditetapkan sebagai pandemi pada bulan Februari 2020. Semua menyaksikan betapa museum sebagai salah satu destinasi wisata di dunia menerima dampaknya. Jika banyak museum swasta yang mengandalkan biasa operasioanl dari hasil penjualan tiket terpukul dan gulung tikar dengan perkembangan ini, museum negeri agaknya lebih beruntung. Museum plat merah masih bisa terus melayani pengunjung meskipun dengan pengetatan standar pelayanan mengikuti kebijakan dan pemberlakuan protocol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Protokol covid 19 pada museum dilaksanakan dengan mengikuti kampanye 5 M yaitu mencuci tangan dengan sabun, menggenakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan menahan diri untuk melakukan mobilitas bila tidak diperperlukan. Museum yang berniat untuk membuka pelayanan pengunjung setidaknya perlu menyiapkan tempat cuci tangan, pos pemeriksaan suhu tubuh, menentukan kuota pengunjung, mengatur sirkulasi pengunjung, dan memasang banner kampanye covid 19. Namun pertanyaan kemudian mengemuka, apakah hal ini cukup untuk memberikan rasa aman dan jaminan akan keselamatan dan keamanan pengunjung.
Pemenuhan protocol kesehatan tidak dapat dijadikan jaminan pengunjung tidak akan terpapar covid 19 karena apa yang bisa dilakukan oleh setiap kita sebenarnya hanyalah berusaha untuk memperkecil resiko keterpaparan. Pemeriksaan tubuh misalnya, hanya memfilter orang yang kemungkinan positif covid 19 dengan deteksi panas tubuh di atas 39 ͦC. Begitupun mengatur sirkulasi pengunjung dan anjuran mencuci tangan hanya diharapkan bisa mencegah penyebaran virus yang mungkin terjadi saat sejumlah pengunjung berada di dalam ruangan tertutup. Aplikasi peduli lindungi juga setali tiga uang. Adalah tugas pengelola museum untuk memberikan perlindungan kepada pengunjung berikut juga petugas pemberi layanan. Pemberian vaksin dasar 2 dosis, ditambah satu dosis vaksin booster, menjadi bukti sekaligus gambaran keseriusan pihak manajeman pengelola museum untuk melindungi garda depan pelayanan pengunjung museum. Namun pemberian vaksin perlu juga diiringi dengan pengetatan SOP pelayanan pengunjung museum yang mendasarkan pada protocol covid 19.
Kita harus selalu waspada ketika sekarang ada banyak diantara para pembawa virus ini tidak mengalami gejala. Terutama ketika merebak varian omicron yang memiliki karakter penularan yang konon katanya tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan varian corona sebelumnya. Meski karakter virus yang sekarang dikabarkan tidak berbahaya namun kekhawatiran varian ini menerpa para golongan lanjut usia dan orang-orang dengan komorbit tetap mengharuskan kita untuk tidak memandang sebelah mata penyakit ini. Bagi pengelola museum, perhatian lebih diarahkan kepada bagaimana membangun kewaspadaan sementara di sisi yang lain berusaha untuk tetap memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
Pada titik ini semua orang harus senantiasa belajar dan mengikuti tiap perkembangan yang berlangsung dari upaya pemantauan dan penanggulangan virus corona di dunia. Pengelola museum harus responsive sekaligus adaptif di dalam merespon setiap perkembangan gejala dan penanganan wabah covid 19. Bagaimananapun sumberdaya manusia pengelola museum harus dilindungi seperti halnya pengunjung yang merupakan klien museum yang harus dilayani dan dipenuhi kebutuhannya. Pemandu museum dengan berbekal pelindung diri yang cukup bisa melakukan pelayanan dengan prima karena semua komponen dan divisi kelembagaan menjalankan fungsinya secara professional. Kita tidak perlu merasa takut secara berlebih menyikapi omicron. Dengan profesionalisme dan common sense semua pihak dapat menanamkan rasa saling percaya. Kedewasaan untuk saling menjaga perlu untuk ditumbuhkan dan kemudian menjadi budaya kerja sehari-hari. Pengunjung merasa nyaman karena pemandu museum sudah divaksin dan melengkapi diri dengan masker dan alat pelindung diri. Sedangkan bagi petugas screening dan pemandu juga merasa aman karena percaya pengunjung masuk ke dalam museum dalam keadaan sehat dan sedang tidak membawa virus. Pada akhirnya di ujung berjangkitnya wabah ini masing-masing orang harus belajar bersama tentang altruisme (empati), dengan mengembangkan sikap saling menjaga dan saling percaya.
Sketsa di awal tulisan ini sebenarnya adalah gambaran sebuah masyarakat ketika sampai kepada tingkat kedewasaan tertentu dalam menyikapi pandemic covid 19 ini. Memakai atau tidak memakai masker dan alat pelindung diri didasarkan pada saling percaya dan saling menjaga. Setiap orang tidak hanya saling percaya, tetapi lebih dari itu seyogyanya merasa perlu untuk saling menjaga. Semua saling menghormati dalam kedewasaan hidup. Seseorang memakai masker bukan karena takut terpapar namun lebih dari itu untuk menghormati orang lain. Di sekitar diri kita semua tahu bahwa ada para manula, bayi, dan orang dengan penyakit bawaan (komorbit) yang harus dijaga. Termasuk ketika melayani pengunjung museum kita memperlakukan seseorang dengan menganggap sebagai klien atau bahkan keluarga kita. Para pengelola toko di Amerika (US) dalam sketsa di atas adalah kelompok orang yang sudah divaksin. Berdasarkan regulasi pemerintah kelompok masyarakat ini diberi kelonggaran untuk berinteraksi tanpa mengenakan masker. Bagi pengunjung yang telah menerima vaksin secara umum mengharapkan dilayani secara normal tanpa mengenakan masker atau faceshield. Mengikuti kehendak customer dengan demikian dapat dianggap sebagai bagian dari upaya memberikan pelayanan yang prima kepada pengunjung, termasuk sebaliknya ketika harus melepas masker. Bagaimanapun, situasi manusia berinteraksi tanpa masker seperti dahulu adalah harapan sekaligus impian. Melaksanakan kegiatan sehari-hari tanpa masker dianggap sebagai “kebebasan baru” yang ditunggu seiring dengan ikhtiar dan doa yang terpanjat tiada henti. Kondisi ini adalah harapan dari setiap kita tanpa terkecuali, meskipun semua kita tahu bahwa covid 19 akan tetap ada di sekitar kita seperti halnya penyakit-penyakit lain yang akan tetap ada sepanjang masa. (Mds)