Museum: Kolektivitas dan Kolektifisme Norma dan Kepatuhan pada Azaz Pengelolaan Koleksi

Museum sebagai lembaga yang memiliki fungsi perlindungan dan pemanfaatan sekaligus, cenderung memunculkan ego sentrisme di dalam tubuhnya. Penekanan pada aspek yang satu kerapkali meninggalkan atau mengurangi makna penting dari aspek yang lainnya. Untuk mengatur keseimbangan antara aspek perlindungan dan pemanfaatan dibuat norma, aturan, atau pada tingkat operasional disusun sebuah SOP atau standart operasional procedure. Lalu pertanyaan kemudian muncul, apakah penerbitan aturan cukup dianggap mampu menjaga pendulum fungsi perlindungan dan pemanfaatan di dalam museum dapat terjaga.

Menurut KBBI kolektivitas adalah mengenai keadaan kolektif. Sedangkan kata kolektif sendiri bermakna secara bersama atau secara gabungan. Kolektivisme adalah nilai yang dicirikan oleh penekanan pada kekompakan antar individu dan pengutamaan kelompok di atas diri sendiri. Individu atau kelompok yang menganut pandangan dunia kolektivis cenderung menemukan nilai dan tujuan bersama sebagai hal yang menonjol dan menunjukkan orientasi yang lebih besar ke dalam kelompok daripada ke luar kelompok. Menimbang konsep kolektifisme dan kerja kolektif maka di lembaga seperti museum harus dipupuk dan dijadikan prinsip dasar dalam membangun budaya kerja. Etos kerja yang demikian dapat tercipta ketika masing-masing pihak saling menghargai dan mengetahui porsinya. Dialektika dalam berorganisasi pasti akan terjadi namun semuanya harus diarahkan pada tujuan upaya pelestarian koleksi museum itu sendiri. Semua sepakat jika aspek perlindungan dalam upaya pengelolaan museum tidak dapat dipandang sebelah mata. Terdapat landasan norma yang kuat sebagai dasar dalam merumuskan aturan-aturan pengelolaan dan perlakuan koleksi karenanya. Adalah tidak boleh ego sectoral dengan mengatasnamakan pengkajian atau bahkan aspek pemanfaatan koleksi melampau konsensus-konsensus pelestarian yang telah ada dalam tata kelola permuseuman. Setiap pihak harus menjunjung tinggi norma-norma kebiasaan dan kepatutan dalam pengelolaan museum, terlebih ketika panduan pengelolaan museum itu sendiri sudah secara jelas diatur dalam perundangan misalnya. Konsep museum public tidak harus membuat pengelola museum terjebak pada trend penciptaan program-program yang seringkali mengkesampingkan kaidah perlindungan dan pelestarian koleksi.

Terkadang ironi terjadi ketika pengelola museum dihadapkan pada permintaan usulan kegiatan yang harus ditetapkan dalam rentang waktu yang mepet. Situasi seperti ini seringkali menyebabkan kebijakan ditetapkan dengan terburu-buru tanpa melalui pertimbangan dan apalagi perencanaan secara matang. Keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa dan tanpa melibatkan semua unsur kelembagaan akan menyebabkan adanya misskomunikasi dan kesalahpahaman. Bisa diprediksi kemudian pelaksanaan kegiatan akan mengalami kendala yang tak jarang berasal dari internal kelembagaan itu sendiri. Kolektivitas dalam sebuah tim dibangun dengan komunikasi dan kerjasama yang dipupuk dari waktu ke waktu dengan pemimpin sebagai leader sekaligus inspirator. Pimpinan harus mempertimbangkan setiap kebijakan dengan mempertimbangkan aspirasi dari semua stake holder museum, baik yang berasal dari eksternal maupun internal museum. Adanya kepastian aturan main, yang dirumuskan dalam peraturan lembaga, termasuk di dalamnya perumusan SOP kerja, penting dalam hal ini sebagai rambu-rambu sekaligus panduan (guidance). Jangan sampai dalam tata kelola lembaga, kebijakan personal yang sifatnya improvisasi seringkali menabrak aturan resmi kelembagaan yang telah ditetapkan. Lalu kemudian apakah aturan ataupun SOP dalam pengelolaan museum harus dibuat secara terperinci. Perumusan aturan yang banyak dan terlalu rigid juga banyak mendapatkan catatan dari pada akademisi pembuat undang-undang. Adanya aturan yang terlalu banyak dianggap akan menghilangkan sisi kemanusiaan dari penghuni suatu negara atau lembaga itu sendiri, karena orang berbuat baik karena takut dihukum atau melanggar hokum, dan bukan karena kesadaran ingin menciptakan ketertiban dan budaya kerja yang kondusif. Pada akhirnya kondusifitas lembaga inilah yang menjadi prasarat sekaligus tujuan dalam menjadikan museum sebagai rumah budaya sekaligus pusat pelestarian peradaban. (MDS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *