Candi Borobudur: Tiket, Rumah Ibadah

“Rakyat kecil (umat Buddha pedesaan cukup banyak) sampai meninggal pun tentu tidak akan mampu naik ke atas candi melakukan puja atau pradaksina karena harus membayar sangat mahal bagi mereka Rp 750.000 per orang,” (kata  Biksu Sri Pannyavaro Mahathera dalam siaran pers di Magelang, Senin, 7 Juni 2022)

Karya: Sumbo Tinarbuko

Berkecimpung di dunia permuseuman membuat kita menceburkan diri pada dialektika antara perlindungan dan pemanfaatan cagar budaya. Doktrin pengelolaan permuseuman menghendaki adanya keseimbangan antara aspek pemanfaatan dan perlindungan secara bertanggung jawab meski dalam prakteknya hal itu seringkali tidak semudah membalik tangan. Alih-alih memenuhi konsep museum yang berorientasi pada kepentingan public (public oriented) misalnya, seringkali kaidah perlindungan terkesampingkan. Program publik yang dicanangkan oleh pengelola museum harus difikirkan secara matang agar dalam pelaksanaannya mampu memberikan kontribusi pada peningkatan kunjungan museum, dan sebaliknya tidak kontraproduktif dengan misi perlindungan yang nyata-nyata menjadi tugas pokok museum yang sesungguhnya. Dinamika pengelolalan cagar budaya kita dapatkan beberapa minggu yang lalu dari bagian lain pulau ini. Sempat terjadi polemik di masyarakat ketika pemerintah bersama PT. Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko (PT. TWC) hendak menaikan tiket masuk tempat wisata menjadi 750 ribu rupiah. Meski rencana ini sekarang untuk sementara ditunda (postponed) namun di masyarakat terlanjur berkembang diskusi yang layak untuk dicatat dan digarisbawahi. Alasan dibalik rencana kenaikan tarif masuk ini pada awalnya disampaikan berkaitan dengan pertimbangan preservasi. Bahwa hingga saat ini telah begitu intens beban yang ditopang struktur candi dengan adanya pengunjung harian mencapai 11 ribu orang perhari. Ditambah kebiasaan beberapa pengunjung candi yang memiliki tabiat yang kurang terpuji, seperti misalnya mencoret maupun merusak bagian candi atau biasa disebut dengan istilah vandalisme. Borobudur sebagai bagian dari cagar budaya dunia seperti halnya koleksi museum harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati dan penuh perhitungan. Pemanfaatan koleksi harus tidak mengalahkan aspek perlindungan karena sebuah cagar budaya itu bersifat langka dan tidak bisa direplikasi utamanya pada aspek intangiblenya. Museum Mpu Tantular sebagai bagian dari pusat pembelajaran sejarah dan budaya bahkan merasa perlu memiliki duplikat koleksi arca Dhyani Bodhisatwa Candi Borobudur, karena berkepentingan untuk turut serta menyebarluaskan informasi warisan leluhur ini. Koleksi lain yang menggambarkan diaspora kepercayaan Budha di Nusantara adalah kelompok arca Tathagata Dhyani Bodhisatwa berbahan perunggu dari Bunggal Ponorogo. Arca ini sangat istimewa karena merupakan kelompok arca yang merupakan manifestasi dari aliran Vajrayana di Nusantara. Koleksi ini bisa dilihat pada display pameran museum Mpu Tantular.

Lepas dari wacana preservasi Candi Borobudur ada hal yang public harus tahu, bahwasannya Borobudur akan menjadi bagian dari desain wisata premium yang membentang mulai dari daerah Yogyakarta hingga dataran Kedu Jawa Tengah. Nama Candi Borobudur tengah jadi sorotan beberapa tahun terakhir karena situs bersejarah ini masuk ke dalam lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), bersama dengan Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Sebelumnya pemerintah telah melakukan penataan di kawasan Candi Borobudur. Pemerintah setidaknya menganggarkan dana Rp 2,27 triliun pada tahun 2020-2021 untuk pengerjaan sebanyak 42 paket di kawasan candi Borobudur. Hingga saat ini terdapat 25 kegiatan yang telah selesai, 16 kegiatan tengah berlangsung dan satu kegiatan dalam persiapan. Candi Borobudur bakal ramai di kunjungi oleh turis dari mancanegara maupun domestik. Dibalik masterplan yang besar ini muncul sinyalemen yang mengatakan bahwa proyek pengembangan wisata di area Candi Borobudur dan sekitarnya nanti dikhawatirkan kurang bisa dinikmati hasilnya oleh masyarakat setempat. Wacana kenaikan tarif masuk ke Candi yang dinaikkan menjadi 15 kali lipat ini mau tidak mau menimbulkan kecurigaan sementara pihak jika destinaasi wisata Borobudur akan hanya mampu diakses oleh pelancong dari luar negeri dan segelintir wisatawan domestic, yang mana segmen ini biasanya telah dibidik oleh perusahaan korporasi besar. Menyikapi wacana ini khalayak terutama kelompok paguyuban pedagang di sekitar Candi Borobudur yang paling keras untuk menolak rencana ini. Sederhananya ketika tarif masuk Borobudur naik mereka khawatir jumlah pengunjung Candi Borobudur akan berkurang, lebih-lebih di masa pemulihan ekonomi seperti sekarang.

Rencana kebijakan kenaikan tarif dijelaskan kemudian akan hanya diperuntukkan bagi wisatawan yang hendak menuju ke area stupa candi, adapun kawasan pelataran atau zona 2 candi tidak akan berubah. Adanya kekhawatiran kerusakan lantai candi akibat gesekan sepatu, rencananya akan diterapkan aturan pengunjung wajib menggenakan alas kaki (disposal shoe) yang kemudian disebut Upanat. Penggunaan alas kaki akan menghindarkan adanya potensi gesekan pada alas candi selain juga praktek ini digunakan juga pada masa lampau berdasarkan bukti tertulis. Adapun berkaitan dengan bertambahkan berat massa bangunan sebagai akibat makin bertambahnya pengunjung yang naik ke badan candi dari tahun ke tahun belum terdapat solusi yang kompromistis. Namun jika pendekatan kebijakan pembatasan pengunjung dilakukan dengan logika menaikkan harga maka akan banyak suara sumir yang akan muncul. Seperti halnya disampaikan oleh pemuka agama Budha, Biksu Sri Pannyavaro di awal tulisan ini. Untuk bisa masuk Candi Borobudur beliau sambil bertanya menohok, “apakah seseorang harus terlebih dahulu menjadi Biksu atau daftar lagi menjadi anak sekolah?”. Asumsinya tarif masuk anak sekolah tetap 5000 rupiah.

Perkembangan baru yang menggembirakan namun jarang dibicarakan ke permukaan terkait status Candi Borobudur yang sekarang dikembalikan sebagai tempat ibadah. Sebagai informasi, pemerintah telah meresmikan Candi Borobudur sebagai tempat ibadah massal bagi umat Buddha di Indonesia dan dunia. Hal ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Pemda DIY, Pemprov Jateng, Kementerian Agama, Kementerian BUMN, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada 11 Februari 2022. Selain Candi Borobudur, dalam nota kesepakatan itu pemerintah juga menetapkan tiga candi lain untuk tempat ibadah massal umat Hindu dan Buddha di Indonesia dan dunia. Ketiganya adalah Candi Pawon dan Mendut untuk tempat ibadah massal umat Buddha, serta Candi Prambanan sebagai ibadah umat Hindu. Bagi orang yang menaruh perhatian terhadap pelestarian cagar budaya akan langsung bertanya, mengapa baru sekarang peresmian ini dilakukan. Kenapa tidak terjadi di waktu-waktu lalu dan apakah peresmian ini bisa dikatakan terlambat dilakukan. Apakah difungsikannya kembali beberapa candi ini adalah sebuah trend baru yang sedang terjadi seperti halnya setahun yang lalu di belahan bumi yang lain Presiden Turki Tayeb Erdogan meresmikan kembali sebuah museum menjadi masjid. Bagaimana menjawab pertanyaan ini semestinya ada pihak yang perlu bicara atau minimal didengarkan pendapatnya. Dimanakah suara para pegiat budaya dan para pemerhati cagar budaya?. Sekecil apapun suara, termasuk dari manapun asalnya aspirasi harus didengarkan. Termasuk permintaan yang satu ini, “Seharusnya yang bisa naik ke struktur dan puncak bangunan (arupadhatu) hanya umat Buddha yang sedang melakukan peribadatan seperti pradaksina atau san bu yi bai” kata Pelaksana Harian DPP Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia, Eric Fernando. Bagaimana mendudukkan polemik perlindungan dan pemanfaatan cagar budaya ini, jangan sampai merugikan misi pelestarian dalam jangka panjang. Dalam polemik pemanfaatan Candi Borobudur, kebijakan pemerintah di kemudian hari harus bisa menepis kecurigaan bahwa hanya orang kaya yang pada akhirnya bisa menikmati keindahan, kemegahan, sekaligus kesakralan candi Borobudur yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Bukankah ajaran Budha dahulu muncul untuk menentang adanya diskriminasi struktur klas social, kita semua perlu membaca sekali lagi buku sejarah sepertinya. (MDS)

KEPUSTAKAAN

https://www.instagram.com/p/Cef9Kh_p71i/?igshid=MDJmNzVkMjY=
https://www.instagram.com/p/CeiyUMzglNB/?igshid=MDJmNzVkMjY=
https://nasional.tempo.co/read/1599672/saat-luhut-ganjar-tunda-rencana-kenaikan-tiket-ke-stupa-candi-borobudur?page_num=2
https://fokus.tempo.co/read/1599623/pro-kontra-harga-tiket-candi-borobudur

https://www.idxchannel.com/economics/bukan-hanya-tempat-ibadah-candi-borobudur-bakal-ditetapkan-sebagai-destinasi-pariwisata-super-prior https://headtopics.com/id/polemik-harga-tiket-candi-borobudur-umat-buddha-minta-agar-dikembalikan-jadi-tempat-ibadah-27044340

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *